Sabtu, 30 Juni 2007

HAMA TIKUS SAWAH DAN PENGENDALIANNYA


Oleh: Herminanto
Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto

PENDAHULUAN
Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama padi utama di Indonesia, kerusakan yang ditimbulkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim. Tikus menyerang semua stadium tanaman padi, baik vegetatif maupun generatif, sehingga menyebabkan kerugian ekonomis yang berarti. Secara umum, di Indonesia tercatat tidak kurang dari 150 jenis tikus, sekitar 50 jenis di antaranya termasuk genera Bandicota, Rattus, dan Mus. Enam jenis tikus lebih banyak dikenal karena merugikan manusia di luar rumah, yaitu: tikus sawah (R. argentiventer), tikus wirok (B. indica), tikus hutan/belukar (R. tiomanicus), tikus semak/padang (R. exulans), mencit sawah (Mus caroli), dan tikus riul (R. norvegicus). Tiga jenis lainnya diketahui menjadi hama di dalam rumah, yaitu tikus rumah (R. rattus diardi), mencit rumah (M. musculus dan M. cervicolor).
Di Indonesia, kehilangan hasil akibat serangan tikus sawah diperkirakan dapat mencapai 200.000 – 300.000 ton per tahun. Usaha pengendalian yang intensif sering terlambat, karena baru dilaksanakan setelah terjadi kerusakan yang luas dan berat. Oleh karena itu, usaha pengendalian tikus perlu memperhatikan perilaku dan habitatnya, sehingga dapat mencapai sasaran. Tinggi rendahnya tingkat kerusakan tergantung pada stadium tanaman dan tinggi rendahnya populasi tikus yang ada.

MORFOLOGI
Tikus sawah mirip dengan tikus rumah, tetapi telinga dan ekornya lebih pendek. Ekor biasanya lebih pendek daripada panjang kepala-badan, dengan rasio 96,4  1,3%, telinga lebih pendek daripada telinga tikus rumah. Panjang kepala-badan 170-208 mm dan tungkai belakang 34-43 mm.
Tubuh bagian atas berwarna coklat kekuningan dengan bercak hitam pada rambut, sehingga berkesan berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, perut berwarna putih dan sisanya putih kelabu. Tikus betina mempunyai 12 puting susu.

HABITAT DAN PERILAKU
Tikus sawah sebagian besar tinggal di persawahan dan lingkungan sekitar sawah. Daya adaptasi tinggi, sehingga mudah tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Mereka suka menggali liang untuk berlindung dan berkembangbiak, membuat terowongan atau jalur sepanjang pematang dan tanggul irigasi.
Tikus sawah termasuk omnivora (pemakan segala jenis makanan). Apabila makanan berlimpah mereka cenderung memilih yang paling disukai, yaitu biji-bijian/padi yang tersedia di sawah. Pada kondisi bera, tikus sering berada di pemukiman, mereka menyerang semua stadium tanaman padi, sejak pesemaian sampai panen. Tingkat kerusakan yang diakibatkan bervariasi tergantung stadium tanaman.

PERKEMBANGAN
Jumlah anak tikus per induk beragam antara 6-18 ekor, dengan rata-rata 10,8 ekor pada musim kemarau dan 10,7 ekor pada musim hujan, untuk peranakan pertama. Peranakan ke 2-6 adalah 6-8 ekor, dengan rata-rata 7 ekor. Peranakan ke 7 dan seterusnya, jumlah anak menurun mencapai 2-6 ekor, dengan rata-rata 4 ekor. Interval antar peranakan adalah 30-50 hari dalam kondisi normal.
Pada satu musim tanam, tikus betina dapat melahirkan 2-3 kali, sehingga satu induk mampu menghasilkan sampai 100 ekor tikus, sehingga populasi akan bertambah cepat meningkatnya. Tikus betina terjadi cepat, yaitu pada umur 40 hari sudah siap kawin dan dapat bunting. Masa kehamilan mencapai 19-23 hari, dengan rata-rata 21 hari. Tikus jantan lebih lambat menjadi dewasa daripada betinanya, yaitu pada umur 60 hari. Lama hidup tikus sekitar 8 bulan.
Sarang tikus pada pertanaman padi masa vegetatif cenderung pendek dan dangkal, sedangkan pada masa generatif lebih dalam, bercabang, dan luas karena mereka sudah mulai bunting dan akan melahirkan anak. Selama awal musim perkembangbiakan, tikus hidup masih soliter, yaitu satu jantan dan satu betina, tetapi pada musim kopulasi banyak dijumpai beberapa pasangan dalam satu liang/sarang. Dengan menggunakan Radio Tracking System, pada fase vegetatif dan awal generatif tanaman, tikus bergerak mencapai 100-200 m dari sarang, sedangkan pada fase generatif tikus bergerak lebih pendek dan sempit, yaitu 50-125 m dari sarang.
PENGENDALIAN
Tikus sawah sampai saat ini masih menjadi hama penting pada tanaman padi di Indonesia. Sebaran populasinya cukup luas dari dataran rendah sampai pegunungan, dari areal sawah sampai di gudang/perumahan. Kerusakan padi akibat serangan tikus yang mencapai ribuan hektar dilaporkan pertama kali pada tahun 1915 di Cirebon, Jawa Barat, selanjutnya tiap tahun terjadi peningkatan kerusakan tanaman padi dengan intensitas serangan sebesar 35%. Pengendalian yang sesuai untuk saat sekarang adalah pengendalian hama tikus terpadu, dengan komponen pengendalian kultur teknis, hayati, mekanis, dan kimiawi.
1. Kultur teknik
Tanam serempak. Penanaman serempak tidak harus bersamaan waktunya, jarak antara tanam awal dan akhir maksimal 10 hari. Dengan demikian diharapkan pada hamparan awah yang luas kondisi pertumbuhan tanaman relatif seragam. Apabila varietas yang ditanam petani berbeda, maka varietas padi yang berumur panjang sebaiknya ditanam lebih dahulu, sehingga minimal dapat mencapai panen yang serempak.
Apabila penanaman serempak, maka puncak populasi tikus yang padat menjadi singkat, yaitu ketika masa generatif dan pakan tersedia, pada saat itu tikus sudah menempati areal persawahan. Padat populasi mulai turun pada 6-7 minggu setelah panen, tikus mulai meninggalkan sawah dan kembali ke tempat persembunyiannya. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi perkembangan tikus, dan sangat berlainan apabila penanaman padi tidak serempak yang memberi peluang tikus untuk lama tinggal di persawahan karena pakan tersedia.
Meminimalkan tempat persembunyian/tempat tinggal. Ukuran pematang sebaiknya mempunyai ketinggian sekitar 15 cm dan lebar 20 cm, pematang seperti ini tidak mendukung tikus dalam membuat sarang di sawah, sebab kurang lebar dan kurang tinggi bagi mereka, sehingga tidak nyaman. Mereka memerlukan paling tidak tinggi dan lebar pematang sekitar 30 cm. Lahan yang dibiarkan tidak diolah juga menjadi sarang yang nyaman bagi tikus untuk sembunyi. Oleh karena itu pengolahan tanah akan mempersempit peluang menjadi tempat persembunyian mereka.
Sanitasi. Kebersihan sawah dan lingkungan sekitar sawah penting untuk diperhatikan, agar tikus tidak bersarang disana. Rumput, perdu, maupun belukar di sekitar sawah atau sungai dekat sawah perlu dibersihkan untuk mencegah digunakan sebagai tempat berlindung tikus sebelum melakukan invasi di sawah. Menjelang panen, populasi tikus meningkat dan mereka bersembunyi di sekitar sawah, maka tanah yang tidak ditanami akan tidak disukai mereka apabila di genangi air.
2. Hayati
Pemanfaatan musuh alami tikus diharapkan dapat mengurangi populasi tikus. Ular sawah sebenarnya menjadi pemangsa tikus yang handal, hanya sekarang populasinya di alam turun drastis karena ditangkap dan mungkin lingkungan tidak cocok lagi. Burung hantu (Tito alba) kini mulai diberdayakan di beberapa daerah untuk ikut menanggulangi hama tikus. Musang sawah juga memangsa tikus, namun sekarang sangat sedikit populasinya dan sulit dijumpai di sawah.
3. Mekanis
Pagar plastik dan perangkap sistem bubu. Pesemaian merupakan awal tersedianya pakan tikus di lahan sawah, sehingga menarik tikus untuk dating. Pemasangan pagar plastik yang dikombinasikan dengan perangkap tikus dari bubu dianggap merupakan tindakan dini menanggulangi tikus sebelum populasinya meningkat. Cara ini akan lebih efektif apabila petani membuat pesemaian secara berkelompok dalam beberapa tempat saja, sehingga jumlah perangkap dan plastik sedikit.
Pemasangan perangkap diletakkan pada sudut pagar plastik, pada sudut tersebut plastik dilubangi sebesar ukuran lubang pintu perangkap. Sekitar perangkap diberi rumput untuk mengelabuhi tikus, sehingga mereka tidak menyadari kalau sudah masuk perangkap. Pagar plastik menggunakan plastik dengan lebar 50-75 cm dan panjang secukupnya. Penggunaan pagar plastik tidak hanya untuk pesemaian, tetapi dapat juga untuk lahan sawah dengan tujuan melokalisir tempat masuknya tikus, yaitu mengarahkan ke lubang perangkap.
Gropyokan. Cara ini banyak dilaksanakan di pedesaan, dengan memburu tikus di sawah. Seringkali dilibatkan anjing pelacak tikus dan jarring perangkap. Hasil gropyokan dapat dalam jumlah banyak tangkapan, apabila menyertakan banyak petani secara serempak di areal luas. Kegiatan ini memerlukan koordinasi antar petani pemilik lahan, karena tikus yang digropyok sering lari melintas batas lahan pemilik sawah.
4. Kimiawi
Umpan beracun. Cara pengendalian kimiawi dilakukan dengan menggunakan rodentisida, misalnya Ramortal, Dora, Klerat, Racumin, belerang, dan lainnya. Rodentisida yang dianjurkan sekarang adalah golongan anti koagulan yang bekerja lambat (tikus mati 2-14 hari setelah makan umpan beracun). Umumnya pelaksanaan pengendalian ini dengan memberikan umpan beracun kepada tikus. Namun sebelum dipasang umpan, perlu pemantauan tikus apakah populasinya tinggi atau belum. Tiap petakan sawah diberi sekitar 10 umpan, biasanya disediakan dulu umpan yang tidak beracun guna mengelabuhi tikus untuk tetap memakan umpan. Baru setelah beberapa lama, umpan beracun dipasang di sawah.
Fumigasi liang. Tindakan ini manjur dilakukan saat padi pada stadium awal keluar malai dan pemasakan, karena merupakan stadium perkembangan optimal tikus, yaitu induk dan anaknya berada dalam liang. Pengemposan sarang perlu diperhatikan ukuran lubang dan diusahakan agar tidak terjadi kebocoran dan asap maksimal mencapai sasaran. Pengemposan dapat dilanjutkan dengan pembongkaran sarang tikus, untuk memaksimalkan hasil pengendalian.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1992. Tikus Sawah. Kerjasama Teknis Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan. Dir. Jen. Pertanian Tan. Pangan. Dep. Tan. Jakarta. 101 hal.
Harsiwi, T., J. Priyono, and O. Murakami. 1992. Studi operasional tikus sawah Rattus argentiventer di Jatisari pada musim tanam 1991. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Dirjen Pertanian Tanaman Pangan. Dep. Tan. Jakarta. 26 hal.
Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. 1994. Pelatihan untuk Pelatih Pengendalian Hama Terpadu dengan Tekanan pada Tikus. Proyek PHT Pusat. Departemen Pertanian. Jakarta. 59 hal.


SERANGGA PREDATOR





Oleh: Herminanto, Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto
Filum Arthropoda sebagian berperan sebagai mangsa dari sejumlah hewan predator yang terdiri atas arthropoda lain dan spesies bukan arthropoda. Ikan dan kadal memangsa nyamuk, katak besar mengkonsumsi scarabidae, burung mynah memakan belalang, itik memakan wereng dsb. Ikan Gambusia affinis misalnya, telah luas digunakan di berbagai tempat di dunia untuk mengendalikan larva nyamuk.
Beberapa arthropoda predator menggunakan alat mulut untuk menggigit dan mengunyah mangsanya, seperti mantidae, capung, dan kumbang buas. Lainnya seperti Hemiptera, larva Neuroptera, lalat dan tungau tertentu, menggunakan alat mulut pencucuk dan pengisap untuk mengkonsumsi cairan tubuh mangsa.

Sebagian predator nampak gesit, pemburu yang rakus, secara aktif mencari mangsa di tanah atau pada vegetasi, seperti dilakukan oleh kumbang buas, serangga sayap jala (lacewing) dan tungau, atau menangkap mangsa ketika terbang seperti dilakukan oleh capung (dragonfly) dan lalat perompak (robberfly). Lalat predator lain, Ischiodon scutellaris, larvanya bertindak sebagai predator dan dewasa hidup mengonsumsi nektar.
Kebanyakan spesies bersifat predator pada stadia muda maupun dewasa, namun ada yang menjadi predator pada stadia larva saja, sedangkan imago mengkonsumsi madu atau lainnya. Adapula spesies bukan predator terutama betina, mencari mangsa untuk larvanya dengan meletakkan telur di dekat mangsa, karena larva sering tidak dapat mencari pakan sendiri. Lalat syrphidae misalnya, meletakkan telur di dekat koloni aphids yang berguna sebagai sumber makanan saat telur menetas menjadi larva yang buta dan tidak berkaki.

COLEOPTERA
Ordo Coleoptera yang dikenal sebagai bangsa kumbang memiliki anggota yang sebagian bertindak sebagai predator. Famili yang menjadi predator antara lain: Coccinellidae (dikenal sebagai lady beetles, lady birds, atau kumbang buas), Shilphidae, Staphylinidae, Histeridae, Lampyridae, Cleridae, Cantharidae, Meloidae, Cincindelidae, Carabidae, Dysticidae, Hydrophilidae, dan Gyrinidae. Coccinelidae dan Carabidae dipandang sebagai agen pengendali hayati penting serangga hama tanaman.
Coccinellidae. Famili ini sudah banyak yang berhasil digunakan sebagai musuh alami di daerah tropik maupun subtropik.

Predator Chilomenes sexmaculatus F.
Musuh alami merupakan salah satu komponen dalam pengendalian hama terpadu (PHT), sehingga penelitian pemanfaatan musuh alami (predator, parasitoid dan patogen) sangat penting untuk mendukung keberhasilan pengendalian hama tanaman yang berwawasan lingkungan.
Menurut Kalshoven (1981) musuh alami ini termasuk kumbang buas dari famili Coccinellidae dan ordo Coleoptera, imago berwarna merah dengan becak hitam melintang pada bagian elitra. Predator tersebut panjangnya 5-6 mm, tersebar luas di daerah tropik. Larva mencapai panjang 8 mm, berwarna hitam kecoklatan dengan garis kuning melintang di bagian abdomen dan terdapat empat baris setae. Imago tertarik cahaya matahari dan sering mengunjungi bunga yang sedang mekar. Perkembangan dari telur sampai dewasa mencapai 18-24 hari. Di Jawa predator tersebut ditemukan pada tanaman pertanian yang banyak afisnya, sangat rakus terhadap mangsanya dan bila tidak menemukan mangsa mereka kadang-kadang mengkonsumsi polen. Perkembangan mencapai 12-14 hari apabila diberi mangsa Astegopterix sp., kutu tanaman yang menjadi hama pada tanaman kelapa. Betina meletakkan telurnya sampai berumur sekitar 3,5 bulan dengan jumlah telur total mencapai 3.000 butir.
Predasi, dalam arti luas merupakan cara hidup binatang dan dalam arti khusus merupakan pola hidup serangga pemangsa termasuk C. sexmaculatus. Beberapa keberhasilan pengendalian hayati hama tanaman pertanian adalah melalui pemanfaatan predator. Menurut Holling (1961), terdapat lima komponen hubungan antara predator dan mangsa yaitu :
1. Kepadatan mangsa
2. Kepadatan predator
3. Keadaan lingkungan, seperti adanya makanan alternatif
4. Sifat mangsa, misalnya mekanisme mepertahankan diri dari serangan pemangsa
5. Sifat predator, misalnya cara menyerang mangsa.
Penggunaan predator sebagai agen hayati pengendalian hama tanaman memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan cara pengendalian lainnya karena aman, permanen dan ekonomis. Keamanan dari pemanfaatan predator merupakan faktor penting, sebab banyak musuh alami bersifat spesifik (khusus) terhadap mangsa tertentu. Oleh sebab itu tidak mungkin spesies bukan sasaran akan dipengaruhi oleh predator, seperti pada penggunaan pestisida yang berspektrum luas.
Penggunaan predator juga relatif premanen, karena hampir tidak mungkin predator melakukan eradikasi suatu spesies terutama mangsa. Ketika mereka merasa kenyang, perburuan dan penangkapan mangsa akan berhenti. Musuh alami yang efisien memberikan pengaruh pada fuktuasi populasi mangsa tanpa adanya campur tangan manusia. Sekali predator mapan di suatu tempat maka untuk jangka lama mereka secara alami mengendalikan populasi mangsanya.
Predator sebagai salah satu musuh alami hama dalam pemakaiannya juga dapat dipandang ekonomis, bila ditemukan predator yang efisien maka tidak banyak tindakan yang dilakukan, sedangkan penyemprotan pestisida sering dilakukan secara rutin dengan tambahan biaya, waktu dan tenaga. Predator yang sudah mapan mampu mencari mangsa sendiri di alam.
Kelemahan kecil pemanfaatan predator adalah perlunya waktu cukup lama untuk mendapatkan predator yang efektif sebagai agen hayati pengendalian hama tanaman. Pengendalian hayati menggunakan predator membutuhkan penelitian yang kompleks dan melibatkan kaitan antara pemangsa, mangsa (hama) dan tanaman inang dari mangsa.

Pengelolaan predator C. sexmaculatus
Secara umum terdapat tiga cara dalam melaksanakan pemanfaatan musuh alami dengan predator yaitu :
1. Konservasi dan peningkatan predator yang telah tersedia dengan manipulasi lingkungannya.
2. Impor dan kolonisasi predator terhadap hama asli atau pendatang.
3. Pembiakan dan pelepasan masal predator yang meliputi augmentasi dan inokulasi inundatif (Stehr, 1982).
Predator ini dengan sifat yang dimilikinya tidak dapat mencegah semua kerusakan akibat serangan hama tanaman, karena hubungan dengan hama sebagai mangsa cenderung berfluktuasi, bahkan ia tidak dapat menurunkan populasi mangsa sampai titik nol.

Perkembangan dan Respon Fungsional Predator terhadap Mangsa
Di alam predator ini berkembang sejalan dengan perkembangan mangsa. Setelah kopulasi beberapa jam kemudian betina meletakkan telur-telurnya secara kelompok di sekitar bagian tanaman dimana mangsa atau afis banyak dijumpai. Telur yang menetas menjadi larva instar 1 yang masih sedikit mengkonsumsi mangsa. Semakin lama semakin besar dan mencapai 4 instar. selanjutnya larva instar akhir akan mencanari tempat untuk pupasi. Beberapa hari kemudian imago muncul (Kalshoven, 1981; Luff, 1983; Ricklefs, 1977).
Hubungan saling tergantung antara pemangsa (predator) dan mangsa merupakan salah satu sifat pemangsa yang dikehendaki. Di alam, banyaknya mangsa di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu jarang sekali statis melainkan mengalami fluktuasi. Kelimpahan mangsa akan menarik minat predator untuk datang dan tinggal di tempat tersebut.
Tanggapan predator terhadap perubahan populasi mangsa menurut Solomon (1949 dalam Herminanto, 1999) dapat berupa 1) tanggapan fungsional yaitu perubahan banyaknya mangsa yang dikonsumsi oleh satu individu pemangsa pada kondisi populasi mangsa yang berbeda dan 2) tanggapan numerik yaitu perubahan kepadatan populasi pemangsa pada kepadatan populasi mangsa yang berlainan. Karakteristik kedua tanggapan tersebut menunjukkan efektifitas suatu pemangsa dalam mengendalikan populasi mangsanya. Lebih lanjut New (1991) memerinci respon fungsional menjadi empat tipe. Tipe I khas terjadi pada binatang avertebrata air yang makan plankton dan jumlah plankton yang dimakan merupakan proporsi langsung dari kelimpahan plankton di sekitarnya. Tipe II (parabolik) khas untuk pemangsa arthropoda yang menunjukkan adanya peningkatan pemangsaan dengan bertambahnya jumlah mangsa yang tersedia. Tipe III menggambarkan hubungan jumlah mangsa tersedia dan yang dimakan dalam bentuk kurva sigmoid. Tipe IV menunjukkan penurunan laju predasi pada kepadatan populasi mangsa tinggi. Hassell (1966) mengemukakan bahwa banyak serangga predator cenderung sebagai pemangsa dengan tipe III. Kajian respon fungsional sangat berarti untuk mendeteksi mekanisme dinamika populasi mangsa di lapangan. Respon fungsional dapat juga menunjukkan bahwa predator menjadi faktor mortalitas yang bersifat bergantung kepada kepadatan terhadap mangsa. Suatu calon agensia pengendali hayati hama harus memiliki respon fungsional yang kuat terhadap mangsanya. Kepadatan populasi predator C. sexmaculatus dan mangsanya yaitu kutu daun jagung Rhopalosiphum maidis Fitch.

Tanggapan fungsional dianalisis dengan melakukan estimasi banyaknya mangsa yang dikonsumsi dengan menggunakan formula Holling (1959 dalam Herminanto, 2000) yaitu :
Ne = {a'TtNt/(1+a'ThNt)}
Ne = estimasi jumlah kutu tanaman yang dikonsumsi, a’ = laju pemangsaan, Th = waktu memangsa, Tt = total waktu memangsa, dan Nt = jumlah afis yang disediakan.

DAFTAR PUSTAKA
Hassell, M. P., 1966. Evaluation of Parasite or Predator Responses. J. Anim. Ecol. 35 : 65-75.
Herminanto, 1999. Respon Fungsional dan Perkembangan Predator Coelophora inaequalis Thunb. Sebagai Musuh Alami Kutu Tanaman Aphis craccivora Koch. Lap. Penel. Fak. Pertanian Unsoed. Purwokerto. 45 hal.
Herminanto. 2000. Perkembangan dan Model Tanggapan Predator Chilomenes sexmaculatus F. terhadap Kutu Tanaman Jagung Rhopalosiphum maidis Fitch. Lap. Penel. Fak. Pertanian Unsoed. Purwokerto. 53 hal.
Holling, C. S., 1961. Principles of Insect Predation. Ann. Rev. Entomol. 6 : 163-182.
Kalshoven, L. G. E., 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised and Translated by P. A. van der Laan. PT Ikhtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 702 pp.
Luff, M. L., 1983. The Potential of Predators for Pest Control. Agriculture, Ecosystem and Environment 10 : 159-181.
New, T. R. 1991. Insects as Predators. New South Wales University Press. Kensington. 177 pp.
Ricklefs, R. E., 1977. Ecology. Chiron Press. New York.
Stehr, F. W., 1982. Parasitoids and Predators in Pest Management. Hal. 135-174. Dalam Metcalf, R. L. and W. H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. Second edition. John Wiley and Sons Inc. New York.